Tuesday, October 28, 2008

EMPAT KEBENARAN ARYA (Cattari Ariya Saccani)


Di Taman Rusa Isipatana, pada bulan Asalha, ketika untuk pertama kalinya Guru Buddha membabarkan Dhamma, dalam Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420} , Guru Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) kepada Lima Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu).
I
Kebenaran Ariya tentang Dukkha
(Dukkha Ariya Sacca)



Guru Buddha bersabda, �Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu : kelahiran adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha, kematian adalah dukkha, sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus asa adalah dukkha; berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dari yang dicintai adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya Lima Kelompok Kemelekatan merupakan dukkha.�

Definisi

Kata �dukkha� yang berasal dari bahasa Pali, sukar sekali untuk diwakilkan secara tepat oleh satu kata dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris karena memiliki makna yang dalam. Secara etimologi berasal dari kata �du� yang berarti sukar dan kata �kha� yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata �du-kha� berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.

Tiga Bentuk Dukkha

Dalam Dukkh� Sutta, Y.A Sariputta menjelaskan adanya tiga bentuk dukkha kepada Jambukhadika, � Ada tiga bentuk dari dukkha, sahabatKu, yaitu : dukkha-dukkh�, viparin�ma-dukkh�, sankh�r�-dukkh�. Inilah tiga bentuk dukkha.�

dukkha-dukkh�
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang alami dan dirasakan tubuh dan bathin, seperti sakit jantung, sakit kepala, perasaan sedih karena berpisah dengan yang dicintai, kegagalan dalam usaha, sebagainya.

viparin�ma-dukkh�
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang tidak lepas dari adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat atau lambat akan mengalami perubahan.

sankh�r�-dukkh�
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan (Panca Khanda), seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari Lima Kelompok Kemelekatan (Panca Khanda).

Dalam Dukkh� Sutta; Samyutta 38.14 {S 4.259}, Y.A Sariputta menjelaskan adanya tiga bentuk dukkha Jambukhadika, adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang alami dan dirasakan tubuh dan bathin, seperti sakit jantung, sakit kepala, perasaan sedih karena berpisah dengan yang dicintai, kegagalan dalam usaha, sebagainya.adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang tidak lepas dari adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat atau lambat akan mengalami perubahan adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan (Panca Khanda), seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari Lima Kelompok Kemelekatan (Panca Khanda).
II
Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha
(Dukkha Samudaya Ariya Sacca)


Guru Buddha bersabda, �Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha, yaitu : Ketagihan (tanh�) yang menyebabkan tumimbal lahir, disertai dengan hawa nafsu untuk menemukan kesenangan di sana sini, yaitu kamatanh� : ketagihan akan kesenangan indria, bhavatanh� : ketagihan akan penjelmaan, vibhav�tanh� : ketagihan untuk memusnahkan diri.�

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau penderitaan adalah tanh�, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak ketagihan bagi yang memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.

Ada tiga bentuk tanh�, yaitu :

1.K�matanh� : adalah ketagihan akan kesenangan indriya, ialah ketagihan akan :
a. bentuk-bentuk (indah)
b. suara-suara (merdu)
c. wangi-wangian
d. rasa-rasa (nikmat)
e. sentuhan-sentuhan (lembut)
f. bentuk-bentuk pikiran

2.Bhavatanh� : adalah ketagihan untuk lahir kembali sebagai manusia yang berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan tentang adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada).

3.Vibhavatanh� : adalah ketagihan untuk memusnahkan diri, yang berdasarkan kepercayaan yang mengatakan bahwa setelah manusia meninggal maka berakhirlah segala riwayat tiap-tiap manusia (ucchedav�da).
III
Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha
(Dukkha Nirodha Ariya Sacca)


Guru Buddha bersabda, �Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha, yaitu : terhentinya semua hawa nafsu tanpa sisa, melepaskannya, bebas, terpisah sama sekali dari ketagihan tersebut.�

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara menyingkirkan tanh� sebagai penyebab dukkha. Ketika tanh� telah disingkirkan, maka kita akan terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.

Dalam Itivuttaka 44; Khuddaka Nikaya, Guru Buddha menjelaskan bahwa terdapat 2 elemen/jenis Nibbana, yaitu :

Sa-upadisesa-Nibbana
Nibbana masih bersisa. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan). Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.

An-upadisesa-Nibbana
Nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana, dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu �tidak tahu�. Ketika Guru Buddha mangkat/wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.
IV
Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha
(Dukkha Nirodha Ariya Sacca)



Guru Buddha bersabda, �Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Jalan yang menuju terhentinya Dukkha, tiada lain adalah Jalan Suci Berunsur Delapan, yaitu : Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, Konsentrasi Benar.�

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa ada Jalan atau Cara untuk menghentikan dukkha.

Jalan Menuju Terhentinya Dukkha dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu :

Kebijaksanaan (Panna)
Pengertian Benar (samm�-ditthi)
Pikiran Benar (samm�-sankappa)

Kemoralan (Sila)
Ucapan Benar (samm�-v�c�)
Perbuatan Benar (samm�-kammanta)
Pencaharian Benar (samm�-ajiva)

Konsentrasi (Sam�dhi)
Daya-upaya Benar (samm�-v�y�ma)
Perhatian Benar (samm�-sati)
Konsentrasi Benar (samm�-sam�dhi)

Demikianlah Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) yang tidak dapat dipisahkan antara Kebenaran yang satu dengan Kebenaran yang lainnya. Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) bukanlah ajaran yang bersifat pesimis yang mengajarkan hal-hal yang serba suram dan serba menderita. Dan juga bukan bersifat optimis yang hanya mengajarkan hal-hal yang penuh harapan, tetapi merupakan ajaran yang realitis, ajaran yang berdasarkan analisa yang diambil dari kehidupan di sekitar kita


EHIPASSIKO


Kata ehipassiko berasal dari kata ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harafiah �ehipassika� berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma.

Istilah ehipassiko ini tercantum dalam Dhammanussati (Perenungan Terhadap Dhamma) yang berisi tentang sifat-sifat Dhamma.

Guru Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam menerima ajaranNya. Guru Buddha mengajarkan untuk �datang dan buktikan� ajaranNya, bukan �datang dan percaya�. Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.

Salah satu sikap dari Guru Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan antara Guru Buddha dengan suku Kalama berikut ini:

"Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, `Petapa itu adalah guru kami. `Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, `Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan`, maka sudah selayaknya kalian menerimanya.� (Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 3.65)

Sikap awal untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran. Dengan memiliki sikap ini maka nantinya seseorang diharapkan dapat memiliki keyakinan yang berdasarkan pada kebenaran.

Ajaran ehipassiko yang diajarkan oleh Guru Buddha juga harus diterapkan secara bijaksana. Meskipun ehipassiko berarti �datang dan buktikan� bukanlah berarti selamanya seseorang menjadikan dirinya objek percobaan. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, bukan berarti orang tersebut harus terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah sikap yang salah dalam menerapkan ajaran ehipassiko. Untuk membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, seseorang cukup melihat orang lain yang menjadi korban karena menggunakan narkoba. Melihat dan menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena penggunaan narkoba, itu pun suatu pengalaman, suatu pembuktian..


Kiamat


Pada suat ketikam bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tetapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di atas, bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagipula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya-tata surya yang tersebar di alam semesta ini.

Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali, selanjutnya dengan terjadinya musim kemarau yang lama ini muncullah matahari yang kjedua, lalu dengan berselangnya suat masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam, dan akhirnya muncullah matahari ketujuh. Pada waktu matahari yang ketujuh muncul, bumi kita ini terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.

Menurut ilmu pengetahuan bahwa tiap planet, tata surya, dan galaksi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi


Kehidupan Manusia di Alam Semesta


Di kalangan masyarakat dan karena pengaruh pandangan atau ajaran agama-agama lain, banyak orang menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia ini sekali saja. Pandangan ini berbeda sekali dengna agama Buddha, karena dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang kehidupan menusia yang telah hidup berulang-ulang kali yang diingat berdasarkan kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi. Sang Buddha mengatakan bahwa:
...ada beberapa petapa dan brahmana yang diseabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia akan dapat memusatkan pikirannya, batinnya, menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberpaa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau ... 1, 2, 3, 4, 5, 10 kali masa bumi berevolusi (bumi terjadi dan hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali ... dst) ... 20, 30 sampau 40 kali masa bumi berevolusi ...
Tetapi Tatagatha telah mengetahui dan menyadari hal-hal lain yang lebih jauh dari pada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut ... 4)

Telah kita ikuti di atas bahwa menurut pandangan Buddhis, kehidupan atau kelahiran manusia bukan baru sekali saja etapi berulang-ulang kali hidup di bumi ini dan juga bumi lain. Perpindahan manusia dari sebuat bumi ke bumi lain disebabkan karena bumi yang dihuninya telah hancur lebur atau kiamat, maka setelah kematiannya di bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya). Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhavana). Alam Abhassara ini adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi alam kehidupan Buddhis.
Manusia pada umumnya telah berulang-ulang kali masuk hidup di 26 alam kehidupan. Kelahiran manusia di salah satu alam tergantung pada amal perbuatannya semasa hidupnya di sebuah alam.

Kejadian Bumi dan Manusia dalam Pandangan Buddhis

 
Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang atau dua orang, tentang manusia pertama di bumi kita ini hanya diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Bharmajala Sutta. Berikut di bawah ini adalah uraian dari Aggana Sutta.
Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya), di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup di dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Pada waktu itu (bumi kita ini) semua terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang atau konstelasi-konstelasi yang nampak, siang maupun malam belum ada, ... laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja.
Vasetha, cepat atau lambat, setelah waktu yang lama sekali bagi makhluk-makhluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) dipermukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau, dan rasa. Sama seperti dadi dudu atau mentega murni, dmeikianlah warna tanah itu, sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian, Vasetha, di antara makhluk-makhluk yang memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata: "O, apakah ini?" dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu dan nafsu keinginan masuk ke dalam dirinya. Makhluk-makhluk lain mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari ... makhluk-makhluk itu mulai makan sari tanah itu, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah itu dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak ... siang dan malam ... terjadi. Demikian, Vasetha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terbentuklah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian lagi buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ... maka sari tanah itupun lenyap...
... ketika sari tanah lenyap ... muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhan seperti cendawan ... Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali ... (seperti di atas). Sementara mereka yang bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itupun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul ... warnanya seperti dadi susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni ....
Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu ... maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan tubuh mereka menjadi nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ... Sementara mereka bangga akan keindahan bentuk tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak; maka tumbuhan menjalar itupun lenyap.
Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap ... muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan seka, harum dan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, dan keesokan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawankya untu kmakan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan tubuh mereka namoak lebih jelas. Bagi wanita nampak jenis kewanitaanya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga), kemudian wanita sangat memperhatikan keadaan laki-klaki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka sangat memperhatikan keadaan diri sati sama lain, maka timbulah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin... 3)
Teciptanya bumi dan alam semesta seperti yang telah diuraikan di atas mungkin agak membingungkan,maka penulis akan berusaha menerangkannya lebih lanjut.
Penjelasan Sang Buddha mengenai terciptanya bumi dan kehidupan adalah dapat dilihat pada Aganna Sutta yang merupakan kitab ke-27 dari Digha Nikaya, yakni yang merangkum khotbah-khotbah panjang dari Sang Buddha.

"Kemudian tibalah waktunya, [O], Vasettha, ketika, cepat atau lambat, pada
suatu masa yang lama, dunia ini berlalu. Dan ketika ini terjadi, makhluk
hidup sebagian besar terlahir di Alam Cahaya (Abhassara), dan di sanalah
mereka tinggal, terbuat dari pikiran, diberi makan oleh kegiuran, bercahaya
sendiri, melayang di udara,
bersambung dalam kejayaan, dan demikianlah mereka bertahan selama waktu yang
lama, periode yang lama dari waktu. Kemudian datanglah saatnya, [O],
Vasettha, cepat atau lambat dunia ini mulai berevolusi kembali. Ketika ini
terjadi, makhluk-makhluk turun dari Alam Abhasara, biasanya melanjutkan
hidupnya sebagai manusia."

Kemudian tibalah waktunya, [O], Vasettha, ketika, cepat atau lambat, pada
suatu masa yang lama, dunia ini berlalu" merujuk pada musnahnya alam semesta
yang lama, dan semuanya terkondesasi menjadi energi, inilah yang dimaksud
dengan Alam Abhassara atau Alam Cahaya, karena cahaya sendiri adalah
manifestasi dari energi. Karena itu jelas sekali Sang Buddha menjelaskan
bahwa pada saat itu mereka tidak memiliki wujud, dan hanya terdiri dari
pikiran. Yang mana pikiran ini menunjukkan kesinambungan energi dari makhluk
hidup, yang sangat sesuai dengan hukum kekekalan energi. Ilmu pengetahuanpun
mengakui bahwa bumi tidak langsung tercipta sekali jadi, yang sangat
mengagumkan adalah Sang Buddha sudah
mengetahui hal ini. Berbeda dengan pandangan-pandangan yang umum diakui 2500
tahun yang lalu, yang mengatakan bahwa dunia ini diciptakan secara langsung
oleh makhluk adikodrati. Proses perkembangan bumi ini jelas sekali
disebutkan Sang Buddha pada kalimat: , [O], Vasettha, cepat atau lambat
dunia ini mulai berevolusi kembali. Pada saat perkembangan terbentuknya
dunia ini, maka makhluk-makhluk pun mulai meneruskan kelahirannya, yang
nampak pada kalimat dari Sutta: "melanjutkan hidupnya sebagai manusia", yang
dimaksud melanjutkan hidupnya sebagai manusia adalah meneruskan kelahirannya
kembali hingga menjadi makhluk yang memiliki wujud fisik lagi. Mengenai
turunnya makhluk dari luar angkasa itu, para ilmuwan tidak menentangnya,
mengingat adanya teori panspermia, yakni kehidupan dibawa dari angkasa luar.
Hal itu telah dibuktikan dengan ditemukannya meteorit dari planet Mars, yang
berisikan spora-spora kehidupan.

Mari kita baca lebih lanjut teks Sutta tersebut:
"Pada waktu itu semuanya merupakan satu dunia yang terdiri dari air, gelap
gulita,. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada
bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan, siang maupun
malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun-tahun
maupun musim-musim belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada.
Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja. Vasettha, cepat atau
lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut,
tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti
bentuk-bentuk buih di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah
munculnya tanah itu, sama seperti madu lebah murni, demikianlah manisnya
tanah itu."
Sungguh mengagumkan sekali Sang Buddha telah mengatakan bahwa kehidupan
berawal dari air, dengan kalimat: "one world of water", menurut ilmu
pengetahuan air sangatlah penting bagi kehidupan dan kehidupan bermula dari
air. Baru pada tahun 1657, Anthonie van Leeuwenhoek, penemu mikroskop,
menemukan bahwa ada makhluk sangat kecil yang hidup pada air hujan. Juga hal
ini tidaklah bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa bumi
ini dulunya cair. Pada saat bumi baru terbentuk tentu saja masih terjadi
kabut yang terjadi dari pendinginan bumi, oleh karena itu matahari dan
bintang belum nampak, hal ini juga secara luar biasa dinyatakan dalam Sutta
ini. Jelas sekali Sutta ini mengatakan ". No moon nor sun appeared, no
stars were seen, nor constellations". Ini berarti bahwa sebenarnya matahari
dan bintang-bintang sudah ada, namun belum nampak, jadi tidak bertentangan
dengan ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa matahari lebih tua dari bumi,
banyak agama-agama yang timbul saat itu mengatakan bahwa bumi lebih tua dari
matahari, namun inilah yang benar menurut ilmu pengetahuan:
Kutipan dari Buku "Geographica, the complete illustrated world reference."
terbitan Periplus ha10, sebagai berikut: " A little less than 5 billions
years ago, the sun was formed in a cloud of interstellar gas. The infant sun
was surrounded by a cooling disk of gas and dust, the solar nebula, where
knots of material were forming, cooling, breaking, and merging. The larger
objects, called planetisimals, grew by accreting smaller particles, until a
few protoplanets dominated. The protoplanets from the warm inner parts of
disc became small rocky planets. Further out, in a cooler region, where ices
of water, ammonia, and methane could condense, the giant planets formed.
These planets grew in mass more rapidly, forming deep atmospheres would
rocky cores. The giants planets copied the sun's creation disk in miniature
to create the moons."

Di sini jelas bahwa matahari berusia 5 bilyun tahun, dan ada lebih dahulu
sebelum planet2. Lebih jauh pada halaman 20 disebutkan bumi terbentuk
sekitar 4500-5000 juta tahun yang lalu. Ilmu pengetahuan juga sepakat bahwa
kehidupan pada awalnya adalah tidak berjenis kelamin atau aseksual, hal ini
sejalan dengan apa yang disabdakan Sang Buddha, bahwa: "Mahluk-mahluk hanya
dikenal sebagai mahluk-mahluk saja", yakni belum ada pembedaan atas jantan
atau betina, laki-laki atau wanita.
Bagian selanjutnya adalah menggambarkan munculnya tumbuhan bersel satu:
"mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air.
Sama seperti bentuk-bentuk buih di permukaan nasi susu masak yang mendingin"
Ganggang bersel satu seperti diatoms, desmids dan lain-lain berkembang biak
dengan membelah diri, dari satu menjadi dua, dua menjadi empat hingga
mencapai ribuan.yang membentuk suatu lapisan berwarna coklat keemasan pada
permukaan air, beberapa yang lainnya membentuk lapisan berbunga-bunga atau
berbuih-buih di atas permukaan air, dan memberikan rasa tertentu pada air.
Jadi jelas secara mengagumkan Sutta ajaran Sang Buddha itu memberikan suatu
penggambaran yang akurat mengenai munculnya kehidupan pertama berupa
tumbuhan bersel satu.
Selanjutnya kita baca lagi bagian Sutta berikutnya:
"Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki pembawaan sifat
serakah (lolajatiko) berkata, "Oh, apakah ini?" dan mencicipi sari tanah itu
dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan
nafsu keinginan masuk ke dalam dirinya. Dan mahluk-mahluk lainnya mengikuti
contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jarinya. Dengan
mencicipinya, maka mereka diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk
ke dalam diri mereka. Maka mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah,
memecahkan gumpalan sari-sari tanah itu dengan tangan mereka. Dan dengan
melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu menjadi lenyap. Dengan
lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahri, bulan, bintang-bintang dan
konstelasi-konstelasi nampak. Demikian pula dengan siang dan malam, bulan
dan pertengahan bulan, musim-musim dan tahun-tahun pun terjadi. Demikianlah
Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya,
hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.
Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi
padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk. Sebagian mahluk memiliki
bentuk yang indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang jelek.
Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah
memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang jelek, dengan
berfikir: "Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada
kita". Sementara mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong
dan congkak, maka sari tanah itupun lenyap.
Dengan lenyapnya sari tanah itu, mereka berkumpul bersama-sama dan
meratapinya "sayang, lezatnya! sayang lezatnya!". Demikian sekarang ini,
apabila orang menikmati rasa enak, ia akan berkata "Oh, lezatnya! Oh,
lezatnya!" yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti
ucapan masa lampau, tanpa mereka mengetahui makna dari kata-kata tersebut."

Di sini jelas sekali hewan bersel satu menjadi makanan dari makhluk-makhluk
purba lainnya, dan karena makanan itu maka mulai mengalami perubahan alias
berevolusi, tubuh fisik mulai berkembang. Pada bagian ini Sang Buddha
memasukkan ajaran moral yakni melawan keserakahan serta rasa sombong, jadi
ajaran Buddha bukanlah semata-mata ajaran ilmiah belaka, melainkan juga
ajaran moral. Mengingat menurut Agama Buddha, tubuh fisik ini juga
ditentukan oleh pikiran. Saat itu bumi beserta atmosfernya mulai cukup
stabil dan dingin sehingga sangat membantu bagi perkembangan makhluk hidup
berikutnya, maka saat itu matahari dan benda-benda langit lainnya mulai
tampak.
Sutta berikutnya kita baca lagi:
"Kemudian, Vasettha, ketika sari tanah lenyap bagi mahluk-mahluk itu,
muncullah tumbuh-tumbuhan dari tanah (bhumi-pappatiko). Cara tumbuhnya
adalah seperti tumbuhnya cendawan. Tumbuhan ini memiliki warna, rasa, dan
bau, sama seperti dadih susu atau mentega murni, demikianlah warna tumbuhan
itu, sama seperti madu lebah murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu.
Kemudian mahluk-mahluk itu mulai makan tumbuh-tumbuhan yang muncul dari
tanah itu. Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang
muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang
lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh
mereka menjadi lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih
jelas. Sebagian mehluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk
memiliki bentuk tubuh yang jelek. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang
memiliki bentuk tubuh yang indah memeandang randah mereka yang memiliki
bentuk tubuh yang jelek, dengan berfikir, "Kita lebih indah daripada mereka,
mereka lebih buruk daripada kita." Sementara
mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong dan congkak, maka
tumbuhan yang muncul dari tanah itupun
lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (baladata) muncul, dan cara tumbuhnya
adalah seperti bambu. Tumbuhan ini memiliki warna, bau, dan rasa, sama
seperti dadih susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tumbuhan itu,
sama seperti madu lebah murni, demikanlah manisnya tumbuhan itu."
Sesuai dengan ilmu pengetahuan, tumbuhan mulai berkembang di darat dan makin
kompleks, seperti misalnya jamur, yang dalam
Bahasa Pali disebut: Ahicchanttako, bagian juga menggambarkan evolusi
terpisah antara dua kingdom dalam ilmu biologi, yakni kingdom plantaria
(tumbuhan) dan animalia (hewan). Pada ayat di atas kita juga dapat
mengetahui bahwa jumlah makhluk
hidup makin beraneka ragam: ", maka tubuh mereka menjadi lebih padat, dan
perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas". Ada makhluk yang
bentuknya indah dan ada yang buruk. Juga para makhluk hidup makin tergantung
dengan makanan mereka. Hal ini juga sejalan dengan ilmu pengetahuan, yakni
Burung Finch Darwin, yang mana bentuk paruhnya ditentukan oleh jenis
makanannya. Lalu tumbuhan juga berkembang makin kompleks dengan munculnya
tumbuhan menjalar, ini menggambarkan keadaan jaman Prekambrium dan Kambrium.

Teks Sutta berikutnya:
Kemudian, Vaettha, mahluk-mahluk itu mulai makan tumbuhan menjalar tersebut.
Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar
tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.
Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi
lebih padat, dan perbedaan bentuk
tubuh mereka nampak lebih jelas. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang
indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang jelek. Dan karena
keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah, memandang
rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang jelek, dengan berfikir, "Kita
lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita". Sementara
mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong dan congkak, maka
tumbuhan menjalar itupun lenyap. Dengan lenyapnya tumbuhan menjalar itu,
mereka berkumpul bersama-sama dan meratapinya "kasihan kita, milik kita
hilang!".
Demikian pula sekarang ini, bilamana orang-orang ditanya apa yang
menyusahkannya, mereka menjawab, "Kasihanilah kita!
Apa yang kita miliki telah hilang" yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan
itu hanyalah mengikuti ucapan pada masa
lampau, tanpa mengetahui makna daripada kata-kata itu. Kemudian, Vasettha,
ketika tumbuhan menjalar lenyap
bagi mahluk- mahluk itu, muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak dalam
alam terbuka (akattha pako), tanpa dedak dan sekam, harum, dengan
bulir-bulir yang bersih. Bilamana pada sore hari mereka mengumpulkan dan
membawanya untuk makan malam, maka keesokan paginya padi itu telah tumbuh
dan masak kembali. Bilamana pada pagi hari mereka mengumpulkan
dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah
tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul. Vasettha,
selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi dari alam terbuka, mendapatkan
makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung
demikian dalam masa yang lama
sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka
tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak
lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi
laki-laki nampak jelas
kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang
keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan tentang keadaaan
wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama
lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indria yang membakar tubuh mereka.
Dan sebagai akibat adanya nafsu indria
tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin (methuna).
Dari ayat di atas kita mengetahui adalah bahwa fase selanjutnya munculnya
tumbuhan-tumbuhan berbiji yang dikatakan sebagai: tumbuhan padi-padian pada
Sutta di atas, juga makhluk mulai dibedakan atas jantan dan betina. Pada
periode evolusi ini, makhluk hidup mulai mengembangkan DNAnya, serta dengan
bantuan lingkungannya, yakni air, panas dan lain sebagainya untuk membentuk
sel-sel baru. Juga ada ajaran moral mengenai kecongkakan dan hawa nafsu.

Demikianlah makhluk-makhluk tersebut akhirnya berkembang menjadi manusia.

Kesimpulan:
Dari sini jelas sekali kesesuaian dengan ilmu pengetahuan:
a. Makhluk hidup timbul melalui suatu proses perkembangan yang panjang.
b. Makhluk hidup berkembang dari kehidupan yang paling sederhana ke yang
paling kompleks.



Alam Semesta menurut pandangan Buddhis

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut:
Ananda, apakah kau pernah mendengar mengenai seribu Culanika Loka dhatu (tata surya kecil) ? ... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itu pula luar seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ... inilah, Ananda yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culakina lokadhatu)
Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu". Ananda, seribu Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu"
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suaranya sampai terdengar di tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi. 2)

Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika Lokadhatu terdapat 1000x1000=1000000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu terdapat 1000000x1000=1000000000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi masih melampaui lagi.